Cerpen

Datang Untuk Kembali Pergi



“Selamat pagi, hujan.”

Kau bawa kemana rindu yang ku titipkan semalam? Semoga engkau tak salah tujuan. Rindu yang tersayat, hati yang berkarat, dan jemuran yang tak sempat diangkat ketika hujan mulai lebat.

Rindu yang seperti rintik hujan yang jatuh di kaca mobil. Kuhapus dengan wiper yang tentu saja percuma. Semakin banyak, semakin banyak.

Aku hanya terbangun, tak sepenuhnya sadar. Seolah dikerjai pikiran sendiri, aku menolak untuk bangkit dari tempat tidur, dan lebih memilih sibuk memikirkanmu.

Aku mulai merasa rindu itu seperti air. Semakin mengalir ke dalam pikiran, semakin banjir di dalam kegelisahan. Sejauh apapun kamu, kamu tetap di pikiran aku.

“Mas.”

Lamunanku terhentak ketika aku mendengar suara seseorang memanggil dari luar. Aku beranjak ke luar, melintasi ruang tengah yang hampa, menuju asal suara.

“MAS!”

Suaranya terdengar sekali lagi, kali ini lebih keras.

Aku bergegas. Ketukan terdengar bergema seiring dengan suara hujan serta angin menderu. Sejak 
semalam, hujan tiada henti.

Aku membuka pintu. Entah mengapa jantungku berdetak sangat cepat. Jemariku masih menggenggam daun pintu yang sudah terbuka.

Lelaki muda di depanku menarik paksa tanganku, menciumnya. Aku merasa geli.

“Mas lupa sama aku? Aku Pandu, anaknya Bu Listya, bocah yang sering kau ganggu sepuluh tahun silam. Dulu rumahku hanya berjarak tiga rumah dari rumahmu”

Tubuhnya basah kuyup. Bajunya meneteskan rembesan air hujan. Sebenarnya aku tahu siapa Ia tanpa harus Ia ingatkan.

Aku memeluknya. Rasa geli sedari tadi tak ku hiraukan lagi. Pelukan ini kurasakan sangat dingin, bukan karena di luar sedang hujan, tapi dingin yang lain.

“Mas masih ingat sama aku kan?” Kali ini Ia bertanya yang menegaskan.

Segera aku melepaskan pelukanku,  aku mengangguk. Langsung saja aku memberinya jalan, masuk 
lah ke rumahku. Kataku kepadanya.

Kupersilahkan dia duduk diruang tamuku. Ruang tamu ini sangat lengang. Seperti anak petakan sawah, tak ada apa-apa. Hanya ada sepasang kursi tua yang selalu menemaniku sepanjang hari.

“Mau minum apa, Ndu?”
“Apa saja yang bisa menghangatkan badan, Mas.”
“Kalau begitu bagaimana dengan sebotol bir?”
“Ha ha ha, boleh mas. Sudah lama aku tidak minum bir.”
“Kebetulan masih ada bir di kulkas. Lumayan bikin waras. Ha ha ha.”

Aku segera mengambil sepasang bir buat kami berdua. Segera kulepas penutup botolnya dengan gigiku yang masih kuat. Pandu hanya terbengong melihat apa yang kulakukan.

“Sudah, jangan melihat ku seperti itu, mari kita minum.” Suaraku sepertinya bagai petir baginya. Dia tersentak, lalu menerima sebotol bir dari tanganku.

“Eh, Mas. Iya, Mas. Terima kasih.”

Sedikit demi sedikit dia mulai meminumnya, tak butuh waktu yang lama untuk menghabiskan setengah dari isi botol bir tersebut.

“Maaf jika kedatanganku mengganggu, Mas. Aku tak tahu lagi harus ke mana.”
Aku tersentak, mataku melotot. Aku bingung dengan perkataanya.

Belum sempat Pandu mengutarakan maksudnya, aku beranjak mengambilkan handuk dan memintanya istirahat.

Entah mengapa aku mengira Ia sudah mabuk setelah meminum bir tersebut. Tak kusangka secepat itu.

***

Aku ingin berjalan-jalan sembari melepas penat di kepala yang semakin rumit. Kutinggalkan Pandu sendiri berada di rumahku.

Biarlah dia istirahat dulu, pikirku.

Aku segera menyalakan mobilku. Mobil sedan tua yang ku beli bulan lalu dari sebuah bengkel yang hampir bangkrut.

Hujan diluar masih awet. Turun dengan derasnya. Titik hujan yang berjatuhan, seperti sebanyak namamu yang ku ucapkan di hadapan Tuhan.

***

Senja di sabtu sore. Hilang jingga yang biasa ada. Seperti suara yang dibungkam. Seperti seseorang yang mulai dilupakan.

Kulihat pelangi dari sudut sempit melalui kaca mobilku. Pikiranku langsung memikirkan sesuatu yang membuat aku senyum-senyum sendiri. 

Entah mengapa aku ingin mempunyai seorang pendamping hidup yang jatuh dari pelangi tersebut. Pasti sangat cantik.

Sesungguhnya pelangi tak selalu tujuh warna, kadang cuma satu, kamu saja. 

Ingin sekali aku menggoda seorang wanita dengan kalimat seperti itu.

Malam menyapa lebih cepat, mungkin agar senja dapat istirahat, rindu melepas lelah yang mengikat.

Aku masih berada 500 meter sebelum sampai ke rumahku. Dari kejauhan, aku hanya melihat dua mobil yang parkir sepertinya tepat di depan rumahku.

Begitu kagetnya aku ternyata mobil tersebut adalah mobil polisi. Mereka sedang menunggu, mungkin sudah menyahut ke dalam rumah tapi tak ada yang menjawab.

Sepertinya Pandu masih tidur, sama seperti yang kutinggalkan tadi pagi. Aku bergegas turun dan menghampiri polisi-polisi tersebut.

“Maaf.”
“Iya, selamat malam. Mas yang punya rumah ini?”
“Malam. Iya bener pak, ada apa ya?”
“Begini mas, tadi pagi tahanan kami kabur dari penjara.”
“Lalu?”
“Kami mendapatkan kabar kalau tersangka masuk ke dalam rumah ini, Mas.”

Jantungku berdetak sangat cepat, aku segera masuk ke dalam rumah. Ku persilahkan polisi-polisi tersebut masuk.

Sementara orang-orang berseragam itu menunggu di ruang tengahaku mengetuk pintu kamar, tempat dimana Pandu beristirahat. Tak ada jawaban.

Perlahan, tangan kananku membuka pintu. Kosong, seperti sebelum Pandu datang.

Seperti benakku yang serta-merta hampa, pikiranku yang mulai kacau, aku hanya menemukan secarik kertas dengan tulisan tangan di atas kasur tempat tidurku.

“Mas, aku pergi.”


***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar